ATRAMENTOUS
A semi vampire-fic
By: mysticahime™
© 2010
.
Disclaimer: Masashi Kishimoto
.
Just a fic for my beloved
wife, aya-na rifa'i :)
.
Karena cinta itu abadi,
ia tak akan lenyap begitu saja
Ia tak seperti embun pagi yang
menguap saat matahari muncul
Ia tak seperti rembulan yang
tenggelam saat fajar menyingsing
Ia tak akan menghilang
Tidak akan pernah berakhir dalam
kurun waktu yang tak berkehabisan
Karena ia adalah...
Cinta
.
.
.
Ini adalah penantian setelah berabad
lamanya. Penantian akan cinta yang sesungguhnya. Cinta di mana ia harus rela
melepaskan segala yang ia mau. Bersabar—itu kuncinya, dan ia mau melakukan hal
tersebut—menunggu, suatu hal yang sangat dibencinya. Yah, apapun itu, karena ia
sendiri tidak takut akan pergerakan jarum jam yang bergeser setiap detiknya. Ia
tidak mengenal waktu, jadi untuk apa tunduk kepadanya?
Ia adalah makhluk immortal—abadi.
Siang dan malam dilaluinya tanpa berkawan dengan udara. Air dan api adalah
musuhnya—terutama lidah-lidah pembakar berwarna jingga tua itu. Satu-satunya
sekutu dalam hidupnya adalah likuid merah gelap yang menjadi sumber kehidupan
manusia—darah. Ia adalah vampir, kode genetik yang dibawanya dari garis
keturunan keluarganya, keluarga Uchiha.
Eksistensinya adalah saat-saat
pergantian hari, di mana rembulan mulai tinggi dan cahaya matahari terhapus
seutuhnya. Angin malam adalah ibu yang selalu membuainya, dan ia senang karena
hal itu. Dan ia tinggal sendirian di dalam kastilnya—terkucil, baik dari dunia
sosial sumber kehidupannya, maupun dari dunia kaumnya.
Uchiha Sasuke.
Ia adalah pewaris akhir garis vampir
Uchiha—klan vampir yang hampir musnah karena dibantai habis oleh segerombolan werewolf
yang kebetulan singgah di sana sekitar empat ratus tahun yang lalu. Dalam empat
ratus tahun terakhir, ia menjalani waktu seorang diri. Mengheningkan cipta pada
sang bayu yang laksana ibunya. Menyatu dengan alam seolah-olah ia bagian dari
alam itu.
Hingga ia bertemu dengan seorang
manusia.
Tanpa sadar ia menatap sosok tubuh
yang masih memejamkan matanya di atas dipan. Kulitnya putih dan pucat, dan
kedua tangannya terlipat di atas perut. Gadis itu mengenakan sebuah gaun tidur
berwarna putih yang sangat sesuai dengan rambut merah jambunya yang tergerai di
atas bantalan dari bulu angsa. Cantik, hanya itu yang dapat dikatakannya dalam
hati.
Dengan gerakan pelan yang nyaris tak
terlihat, vampir berambut raven biru kehitaman itu menyentuh punggung tangan si
gadis, membuat gadis itu mendadak bangun akibat rasa dingin yang menyengat. Ya,
sebagai vampir, tangannya terasa sangat dingin untuk ukuran manusia biasa
seperti gadis itu.
"Sasuke..." cetus gadis itu
dengan suaranya yang lembut saat ia menemukan cintanya berdiri dan menatapnya
dengan sepasang mata onyx yang mampu membuat pertahanannya lumer.
"Hn." Hanya itu respon yang
diberikan oleh si vampir. Gejolak haus akan darah-nya membuat si vampir tak mau
melangkah lebih maju lagi. Ia ingin melindungi gadisnya.
"Kemarilah..." Gadis itu
bangun terduduk di sisi dipan, membentangkan tangannya lebar-lebar. Sasuke diam
saja di posisinya semula, menatap gadis itu dengan tatapan tersiksa.
"Aku... tidak ingin
membahayakanmu," ujarnya sembari membuang muka, kedua mata onyx-nya menatap
rembulan kebiruan yang bergelayut di atas langit. Samar-samar terdengar
lolongan serigala yang memecah kebisuan malam.
"Kau tidak akan
membahayakanku..." Gadis itu sengaja memberi jeda pada perkataannya,
menggantung kalimatnya supaya Sasuke menebak-nebak kelanjutannya.
"...karena aku memintamu mengubahku menjadi vampir. Saat ini juga."
Bola mata hitam itu melebar akibat
dorongan rasa kaget yang tiba-tiba muncul. Pria itu berbalik ke arah Sakura.
"Tidak." Hanya itu yang
keluar dari bibirnya.
"Aku tidak peduli dengan
kehidupanku sebagai manusia." Gadis itu mendesah. "Aku tinggal
sebatang kara."
"Tapi aku peduli," balas
Sasuke. Ia meraih lengan kanan Sakura hingga berada sejajar dengan dagunya.
"Bila kau menjadi vampir, tidak akan ada lagi ini..." Tangan Sakura
nyaris gemetar saat dirasakannya hidung Sasuke menggesek permukaan kulitnya
yang tak ditutupi gaun tidur. Lalu ia menmpelkan kepalanya pada dada Sakura,
mendengarkan irama teratur dari detak jantung gadis itu. "...dan
ini."
"Tapi kau selalu merasa tersiksa
bila menghirup aroma darahku!" bantahnya, wajahnya bersemu kemerahan.
"Kau selalu haus, kan? Karena aku ada di sini—dekat denganmu—dan aku
adalah manusia."
"Hn." Dilepaskannya lengan
Sakura hingga lengan itu jatuh dengan gontai ke atas pangkuan sang empunya. Ia
kembali menegakkan tubuhnya. "Katakan apa maumu."
Emerald itu bersinar, penuh
kemantapan sekaligus pengharapan. "Menjadi vampir yang akan
mendampingimu."
Ia tidak menjawab. Sasuke berjalan
menjauhi Sakura—berjalan menuju balkon di luar ruangan itu, sebuah tempat yang
bermandikan cahaya bulan, kemudian mencengkeram besi pembatas yang berdiri di
sana. "Kemarilah." Ia memanggil Sakura.
Gadis itu mendekatinya tanpa ragu.
Kedua kakinya yang telanjang terdengar bergesekan dengan permukaan lantai. Langkah-langkahnya
berhenti ketika ia berada di sisi Sasuke, ikut bermandikan cahaya lunar yang
berpendaran. Matanya menyapu alam yang memesona dalam kegelapan dengan tatapan
takjub, walau ia telah berulang kali menikmatinya. Setiap saat bersama Sasuke
selalu terasa lain bagi Sakura. Walau mereka telah seringkali memandangi
pemandangan malam hari berdua, namun saat-saat itu tidak pernah terasa sama.
Seperti kali ini.
Pria itu menatapnya.
Dan ia tahu, keputusan gadis itu
sudah bulat. Apapun yang ia katakan untuk mencegahnya pasti tidak akan didengar
oleh gadis itu. Ia tidak mau merenggut garis kehidupan gadis itu, tidak mau
merampas detak jantungnya. Rasanya tidak adil baginya untuk memaksakan egonya
untuk mendapatkan gadis itu seutuhnya—selamanya bersamanya. Ya, ia memang
menginginkan gadis itu untuk hidup abadi. Tetapi, apakah ini adil?
Gadis itu menginginkan dirinya untuk
mengubahnya menjadi vampir, sama seperti keinginannya berbulan-bulan yang lalu.
Namun, ia kini sudah melepaskan keinginannya itu, mencoba bertahan tanpa ingin
menghancurkan pola indah kehidupan gadis yang dicintainya itu. Keinginannya
untuk memiliki gadis itu seutuhnya telah berubah menjadi keinginan untuk
melihat kebahagiaan gadis itu, tidak lebih. Ia mulai melawan rasa dahaganya
bila sedang bersama dengan pemilik rambut merah jambu itu, hanya untuk tidak
melukainya dan secara tak sengaja merenggut kehidupan manusia polos itu.
Tetapi, kali ini gadis itu memohon
kepadanya hal yang menjadi hasratnya selama satu tahun terakhir—di saat ia
sudah bisa menerima dahaga yang menguar selama gadis itu berada dalam ruang
geraknya, di saat ia sudah bisa menerima aroma menggiurkan itu sebagai
anginnya.
Sasuke selalu menginginkan
kebahagiaan Sakura—lebih dari apapun. Dan apa yang harus dilakukannya bila gadis
itu memohon untuk kebahagiaannya—kebahagiaan mereka berdua?
"Kemarilah..." Sasuke
membentangkan kedua tangannya lebar-lebar, kemudian merengkuh Sakura ke dalam
pelukannya. Disibakkannya helai-helai rambut merah muda yang menutupi leher
putih jenjang milik gadis itu. Sesaat ia terdiam, bimbang.
"Apakah kau serius?"
tanyanya seraya menatap kedua iris emerald itu.
Sorot keyakinan yang mendalam
terpancar di sana. "Aku serius, Sasuke. Aku selalu serius dalam segala
hal. Sama seriusnya dengan hal aku mencintaimu."
"Apa kau serius?" ulang
Sasuke sekali lagi, sedikit berharap bahwa pertanyaannya mampu menggoyahkan
keinginan gadis itu. Biarlah ia tidak hidup selamanya, asalkan gadis itu tetap
berjalan sesuai takdirnya. Biarlah seorang Uchiha Sasuke kembali kesepian
apabila gadis itu meninggal dalam damai, karena beratus-ratus tahun sebelumnya
pun, seorang Sasuke selalu hidup dalam kesendirian, bukan?
Tiba-tiba kedua tangan gadis itu
merengkuh wajahnya. Kehangatan menjalar dari kulitnya yang hangat kepada kulit
Sasuke yang dingin. Dan emerald itu menatapnya penuh permohonan.
Tahu bahwa ia tidak dapat mengubah
pendirian Sakura lagi, Sasuke menggendong gadis itu ke sebuah bangku nyaman
yang cukup diduduki oleh dua orang yang berada di tengah-tengah balkon—tempat
mereka berdua sering menghabiskan malam-malam penuh bulan dan bintang.
Disandarkannya kepala gadis itu dengan nyaman di lengan kirinya, sementara
tangan kanannya yang bebas mulai menyibakkan rambut merah muda yang kembali
menutupi leher gadis itu. Baru ia mendekatkan wajahnya ke leher putih gadis
itu, menghirup aromanya—untuk yang terakhir kalinya.
Hanya satu yang ia harapkan saat ini:
gadis itu bisa bertahan.
"Ini bukanlah sebuah akhir,
Sakura..." bisiknya lembut.
Dan ia membenamkan taring-taring
beracunnya pada kulit itu.
"Ngghh..." Nafas gadis itu
terdengar berat, seolah menikmati saat-saat Sasuke menyentuh rambut dan kulit
lehernya.
Pada mulanya Sakura merasakan rasa
sakit yang menyengat, terasa seperti arus listrik. Lalu ia merasakan gelombang
kebahagiaan—hormon endorfin yang seolah disuntikkan secara paksa. Nyaris ia
terbuai dalam kenikmatan semu itu, sebelum tiba-tiba dirinya terasa terbakar.
Ia menggeliat, berusaha melawan rasa
sakit itu. Ia ingin berteriak, namun suaranya tak kunjung bergetar. Akibatnya,
ia hanya bisa bergulat dengan rasa sakit itu dalam kebisuan.
Tak lama kemudian, rasa panas itu
memudar. Gadis itu nyaris menghembuskan nafas lega, tapi tidak jadi. Sekujur
tubuhnya tiba-tiba merasakan hawa dingin menyerbunya. Tubuhnya bergetar hebat dan
giginya gemeletukan. Jari-jarinya mati rasa. Hormon endorfin yang disuntikkan
bersamaan dengan racun vampir membuat tubuhnya sedikit kebal. Dingin, namun
nyaman.
Sesaat kemudian, mata emerald itu
terpejam, disusul oleh jantungnya yang berhenti berdetak...
.
.
.
Cinta bisa menghilang
Cinta bisa muncul kembali
Ia tak akan pernah pergi
Cinta tak akan berakhir
.
.
.
Mata itu kembali terbuka.
Kilau emerald yang mengagumkan itu
kembali berpendar sempurna, dua puluh empat jam sejak emerald itu tertutup oleh
tabir tipis kelopak mata.
Sakura tersadar dari pengaruh
endorfin yang membentengi alam bawah sadarnya dari terpaan rasa sakit, panas,
dan dingin pada saat yang bersamaan. Ia berdiri dengan gerakan ringan,
seolah-olah ia bisa terbang.
Kini ia seorang vampir. Sama seperti
pria yang dicintainya.
"Sudah bangun, hn?"
Suara itu... Kini Sakura sudah bisa
mengetahui gelombang suara yang datar dan dalam itu. Itu pasti suara Sasuke.
"Begitulah..." Dan ia
sendiri terpesona oleh gelombang suara yang dihasilkan oleh pita suaranya.
Terdengar begitu bening dan... memukau. Seperti inikah suaranya yang didengar
oleh Sasuke selama ini?
Ia mendekati sang sumber suara—pria
rupawan dengan rambut biru kehitaman yang tengah memandangi sinar bulan di
balkonnya. Pria yang akan didampinginya selama-lamanya. Pria yang immortal,
sama seperti dirinya saat ini.
Dengan ringan ia menempatkan dirinya
di sisi pria itu—posisi yang akan didudukinya sampai kapanpun. Ia memang tidak
bisa merasakan lagi detak jantungnya yang berdebar-debar bila berada di sekitar
Sasuke, namun ia yakin, bahwa ia mencintai Sasuke.
"Lama sekali aku tertidur,"
gumamnya sambil tersenyum kecil. Diliriknya wajah sempurna pria yang
dicintainya itu—pria dengan wajah stoic mengagumkan yang selalu
disukainya.
"Dua puluh empat jam."
"Ya." Jelas kali ini
wajahnya tidak dapat bersemu kemerahan lagi, namun baginya, itu bukan masalah.
Hidupnya sebagai manusia memang sudah berakhir. Tetapi di sini—di sisi
Sasuke—ia memiliki alur hidup baru yang sudah digoreskan untuknya.
"Atramentous..."
Telinga barunya yang tajam menangkap gumaman rendah Sasuke.
"Eh, apa?" tanyanya dengan
nada bingung. Apa maksud Sasuke?
"Atramentous—tengah
malam...," Pria itu memandang sinar bulan yang berpendar keemasan di dalam
gelapnya malam, "akhir dari sebuah hari sekaligus awal dari sebuah
hari." Ia menatap wanita bermata emerald di sisinya dengan kedua mata
onyx-nya. "Sama seperti dirimu. Kematianmu bukan hanya berarti akhir dari
hidupmu sebagai manusia, tetapi juga awal hidupmu sebagai vampir..."
Lewat ekor matanya, ia bisa melihat
Sasuke menyunggingkan senyuman tipis, dan ia bisa merasakan bahwa tangan kiri
Sasuke beringsut-ingsut mendekat, menggenggam tangannya, menyelubungi tangan
mungilnya dengan genggaman tangan yang terasa melindungi itu. Tangan yang dulu
dingin itu... kini terasa hangat.
Baiklah, ia rela menukarkan segala
yang ia miliki untuk bisa bersama Sasuke seperti saat ini. Saat-saat
bermandikan sinar keemasan bulan yang jatuh menimpa area balkon, saat-saat yang
hanya dimiliki oleh mereka yang abadi. Saat-saat... mereka jatuh cinta untuk
kesekiankalinya.
Saat-saat untuk memulai dari suatu
akhir.
Karena setiap akhir juga merupakan
suatu permulaan.
.
.
.
Setiap kali cinta berakhir,
pasti akan ada awal dari cinta
yang baru
Cinta tidak akan pernah berakhir,
tidak akan berkesudahan
Berkali-kali mati dan hidup lagi
Perpisahan dan pertemuan yang
silih berganti
Dan cinta tetap ada di sana—dalam
setiap pertemuan dan perpisahan
Karena setiap perpisahan bukanlah
suatu akhir
Melainkan awal dari sebuah pertemuan
takdir
.
*owari*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar